KISAH SI DOLOK MARDONGAN
Dolok Mardongan. Seribu pejantan tak akan pernah mampu mengawini dia sampai kapan pun. Karena dia juga pejantan. Dolok Mardongan, lelaki yang bisa mengisap puting seorang perempuan, bisa menyetubuhinya, atau menciptakan kata-kata yang memabukkan agar tubuh pualam para perempuan memperlihatkan kemilau rahasia di balik lipatan dada dan selangkangan. Dolok memang pejantan.
Karena itu, dia tak pernah mengerti setan-setan laknat yang kemudian berkeliling di setiap jendela dan pintu rumahnya. Kutukan siapa? Sedangkan ingar-bingar gagak, auman harimau yang terdengar dari hutan, tak pernah menakutkannya. Pisau yang kerap di pinggang, waspada bergeser di setiap bahaya.
Tapi, ini kutuk siapa?
Garis mana yang menentukan kalau dia tak pernah bisa punya anak?
Ratusan lelaki dari puluhan kampung nyatanya telah menghujatnya. Serupa serigala, melolong dan terus menatapnya. Rantai berantai. Dari perbukitan sebelah utara sampai selatan. Membayangi mimpinya.
Teror. Tapi itu tak pernah menakutkan Dolok. Walau dia tahu bahwa anak sangat berharga.
Jangankan anak lelaki, menghasilkan anak perempuan saja dia tak bisa!
Puluhan bulan dia mengawini tiga orang perempuan berturut-turut namun tak ada yang pernah berbuah anak dari kejantanannya.
Ditariknya garis silsilah1 puak2nya. Sempurna. Tak ada yang hilang dalam garis keturunan bapak, kakek dan leluhurnya. Bagai orang yang terluka dia terus mengeram penyakit yang bersarang di bawah perutnya. Dia merasa tubuhnya bisa jadi harimau, yang melantakkan tubuh perempuan serupa kucing yang basah kehujanan. Menggetarkan rumahnya setiap getar kejantanan itu datang. Serupa petir yang membahana dari antara pahanya, saat semua tak tertahan.
Anak. Anak.
Puak. Puak. Puak.
Kata-kata mengepung di kepalanya serupa mantera.
Apakah garis silsilah Dolok akan berhenti begitu saja, selepas nyawanya tanggal dari bumi tengah3 ini? Alangkah merana rohnya yang hanya bisa termangu ketika garis puak hanya berujung pada namanya saja.
***
Telah dia jalani beratus hari pertapaan di dalam gua-gua yang sempit, berlumut dan berair. Telah ditutupnya mata dari segala tempat yang menyimpan kegelapan abadi di sepanjang musim. Rambutnya makin memanjang atas sumpahnya tak akan memotong rambut selama azab ini tak berakhir.
Dolok tak pernah mengerti. Di atas angin, pada ujung gunung tertinggi, Dolok Panatapan, ujung dari huta-huta4 ini, dia pernah mengaum mengerikan di atas lerengnya. Menatap liar pada percikan senja di Danau Toba. Menggeram, dan menakutkan para penduduk yang ada di huta-huta terdekat, tempat dia berdiri.
Namun siapa pun tahu. Lukanya adalah luka kehormatan. Lukanya tak akan tersembuhkan. Lukanya tak akan tertandingi. Lukanya adalah luka puak!
Sudah nyaris sepuluh garis keturunan hingga dirinya. Nama yang berhenti adalah malapetaka.
Sedangkan dua hari kemarin saja sudah menyinggung kejantanannya.
“Dolok itu perempuan. Buktinya dia tak punya anak dari istri-istrinya…â€
“Dolok itu bukan lelaki. Lihat saja perutnya makin membuncit, jangan-jangan dari perutnya akan keluar bayi…â€
Oh Ompu Mulajadi Nabolon!
Dolok tahu perutnya membuncit. Tapi itu karena tuak. Itu karena dia suka makan babi. Itu karena dia lahap menelan lemak.
Jadi, itu bukan bayi!
Tak pernah dia bayangkan dia adalah perempuan. Hingga sekarang, dia juga yakin kalau dia memang bukan perempuan.
Tak ada yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Bahkan sampai dia meloncat-loncat di atas tanah, tak ada yang meronta di perutnya. Dolok melompat dari rumah, berguling dan membenturkan perutnya dengan tanah, tak ada keluhan apa pun kecuali memar di otot dan kulit perutnya. Dia pukulkan dengan tangan dan dengan batu, hingga darah mengalir dari perutnya yang sobek.
Dia kemudian melumuri dedaunan untuk menyembuhkan luka di perutnya karena segala perbuatannya itu. Dia yang mengobati perutnya sendiri. Tak boleh ada yang tahu. Ini menyangkut harga diri. Sekalipun dia kerap diejek, jangan orang sampai tahu kalau dia sampai ragu pada kejantanannya sendiri.
Bahkan tiga istrinya pun tak pernah ada yang tahu, kalau Dolok mulai ragu pada perutnya yang semakin membesar.
***
“Ini bayi ataukah lemak, Dewa Penguasa atas segala yang ada di bumi tengah, bumi terbawah dan bumi teratas?†jeritan batinnya, sambil menunjuk pisau ke perutnya. Dia gemetar. Bukan takut. Namun tak mungkin ditusukkannya perutnya pada saat ini. Karena itu, tak dilakukannya apa pun pada perutnya itu.
Di gua yang sunyi ini dia kembali menghilang dari keramaian. Dia menjauh dari ketiga istrinya. Dia bahkan sudah mulai tak berselera lagi menuruti kejantanannya pada tubuh-tubuh mereka. Sejak teror demi teror dan suara ejekan itu semakin memenuhi ruangan kepalanya.
Kalau dia pejantan di kesunyian ini, dia adalah jantan yang terluka.
Di tiap tempat dia selalu terluka.
Di huta, dia tak bisa melihat bayi. Dia tak tahan menyaksikan perempuan menggendong bayi. Dia tak tahan menyaksikan seorang bapak yang sedang mengajari anaknya yang remaja mencangkul. Juga para lelaki remaja yang berjalan bersama bapaknya. Berkebun atau berburu.
Dolok bahkan akan menjerit dan meronta dalam hatinya, setiap melihat perempuan yang dalam keadaan hamil.
Kejantannya semakin lemah tak berdaya. Menggelepar pelan serupa ikan emas yang siap diolah menjadi arsik6 di atas api pembakaran.
Apalagi ketika para istrinya telah siap dijemput keluarga. Semua menyatakan penyesalannya karena siap mengambil anak perempuannya karena Dolok tak bisa memberikan keturunan buat anak perempuan mereka.
Siapa yang tak perih atas harga diri yang semakin terinjak-injak ini? Kesunyian apalagi yang siap diciptakan alam buatnya? Setelah hinaan, setelah pertapaan yang hening dan mengerikan, kini para istrinya pun akan dijemput oleh para keluarga dari puak masing-masing.
Alangkah azabnya lelaki yang tak pernah punya anak!
***
Di pertapaan ini, di gua yang berair dan lembab, dia telah menyiapkan segalanya. Doa terakhirnya pada Debata7. Diikatnya kepala dengan ulos8 yang hitam. Diselempangkannya juga ke dada. Celana hitamnya yang sampai betis kini semakin tak bergerak ketika dia duduk dalam sebuah keheningan. Bersidekap, tangannya menyatu alam, matanya menutup rapat. Ditutupnya telinga dari suara-suara. Menembus tetes air di gua dan menyisihkannya, menjalani alam roh leluhur.
Dolok terpanggang dalam sepi.
Berhari-hari, berminggu-minggu, entah sudah keberapa kali bulan muncul di langit luar sana, dia tetap bertahan di dalam gua. Sampai mencari makan di tempat itu. Mulai dari lumut, tikus hingga apa pun yang pernah ada dan pernah melintas ke gua ini. Sampai bernapas dan membuang isi kotoran dari perutnya, dia tetap bertahan di ruangan terdalam dan sunyi itu.
Mencari bayangan, menatap bayangan, hingga mengejarnya dengan bayangan rohnya pula.
Dia sering melupakan diri. Melepaskan tubuhnya di tengah keheningan yang dimaharajalelakannya. Dibiarkannya terenggut rohnya mencari petunjuk dari langit, tentang nasib, tentang garis yang dijalankannya. Puak adalah junjungan, garis keturunan adalah keniscayaan, nasib apa yang telah digariskan dan dititahkannya jauh sebelum dia lahir ke tanah dunia tengah ini?
***
Dalam sebuah pertemuan adat, tiba-tiba saja Dolok muncul. Di antara para lelaki yang telah punya nama: Amang si anu, bapak dari si anu, keberadaan jelas tak diterima. Tapi, Dolok, si lelaki yang tak ubahnya bujangan itu, tiba-tiba saja telah menyeruak di antara mereka.
Dolok yang tak punya nama, kecuali namanya sendiri. Karena itu dia bisa sederajat dengan para bujangan. Dolok tak punya embel-embel Amang dengan nama anak. Dolok Mardongan sebutannya tetap Dolok.
Mata para lelaki muda, setengah baya hingga kakek tua di pertemuan antar-kampung itu kemudian menatapinya. Dengan pandangan mengerikan, sinis memandang Dolok. Lelaki yang menjelma perempuan, atau sebaliknya, perempuan yang menjelma sebagai lelaki.
“Hai seluruh dongan tubu, seluruh saudara dari puakku…â€
Sambil berteriak serupa auman mengerikan dari wajah yang pucat namun tak memperlihatkan kelelahan, dia berdiri serupa batu karang. Kakinya kokoh sekalipun kotor dengan lapisan tanah dan lumpur hitam.
Orang-orang mulai ketakutan. Apalagi ketika dia mengacungkan tinggi-tinggi pisau ke atas kepalanya setelah mengarahkannya ke perut.
Semua terpana. Dolok yang baru muncul setelah lama menghilang. Seakan lenyap dari bumi. Setelah orang-orang tahu, pastilah dia berduka atas seluruh malapetaka yang menimpanya.
Seluruh istrinya tak lagi ada di sampingnya. Pergi dari rumah Dolok yang berpagar kayu. Setelah dia tak diketahui keberadaannya, tetap tak ada yang berani menyentuh rumah Dolok, termasuk orang-orang satu huta atau sanak semarganya yang lain. Mereka tahu Dolok sedang sedih atau sedang murka. Dan orang murka pasti akan mengerikan bila ada yang menyinggung hatinya.
Kini, Dolok terlihat begitu jantannya. Sekalipun dalam hati orang masih curiga kalau ada anak di perutnya. Kini mereka menanti apa yang akan dilakukan Dolok.
“Aku akan tunjukan, kepada kalian semua. Aku lelaki, penjaga garis puakku. Namaku akan tetap ada di samping kalian…â€
Semua diam. Bukan tak tahu apa yang dia maksudkan, tapi lebih karena seluruh orang-orang di sekelilingnya memang agak gentar.
“Aku akan membelah perutku! Tak pernah ada bayi di dalam perut ini. Tak pernah ada. Karena aku bukan perempuan!â€
Semua orang terkaget pada kenekatan yang akan dilakukannya. Semua terpana.
Bahkan ketika orang-orang mulai mendengar ada suara tangis perempuan tua jauh di belakang kerumunan para lelaki. Ibu dari Dolok, perempuan yang telah melahirkan lelaki itu ke dunia.
Bukan sekedar tangisan, lebih berupa ratapan.
Tangisannya sangat menyayat: “Jangan kau lakukan itu, Dolok… Jangan. Biarkan, orang-orang meragukanmu. Inang tahu, kau tetap seorang lelaki…â€
Orang-orang mulai riuh. Berbisik. Beberapa mata mulai menatap Ibu dari Dolok.
“Dengar, dengar tak ada yang bisa menghalangiku. Inang, berikan aku kesempatan menunjukkan kepada mereka, bahwa akulah lelaki. Tak ada bayi di sini, yang ada hanyalah minyak…â€
Semua orang di pertemuan huta ini mulai berteriak gemuruh. Tak jelas kalimat-kalimat mereka, karena setiap orang hendak menyuarakan hatinya masing-masing.
“Hanya permintaanku, pertahankanlah namaku di marga dan puakku. Pertahankan namaku…â€
Semua masih terdiam. Tak ada yang berani bicara.
Hingga seorang yang tertua di antara rombongan itu maju. Mengangkat tinggi-tinggi tangannya. Pertanda takzim. Dengan wajah yang takjub.
“Anakku Dolok, kalau itu maumu. Biarlah terjadi yang kau inginkan itu. Biarlah dijalankan keinginan rohmu itu…â€
Dolok membisu. Dia tak mengangguk, tak pula bergerak. Kecuali matanya yang menyiratkan kepastian. Lalu matanya cepat dan tanpa keraguan, beralih ke perut. Tangannya tak gemetar ketika menghujamkan pisau itu kuat-kuat ke perutnya.
Orang-orang bersuara keras. Inang Dolok menjerit histeris. Begitu pun para kaum ibu dan kaum perempuan di belakang ibunya, setelah mengetahui apa yang telah terjadi. Dolok, siapakah Dolok ini? Siapa yang menuntunnya sekarang untuk melakukan hal yang mengerikan itu?
Namun, mereka telah menyaksikan pisau telah menancap di perutnya. Tangannya gemetar. Tubuhnya bergolak, lalu limbung dengan tatapan yang nanar, sebelum akhirnya menutup dengan tenang.
Lalu setelah jatuhnya tubuh itu, terlihatlah segala yang tak mereka percayai di hadapan mereka. Ada cairan minyak merembes keluar dari luka di perutnya yang menganga. Nyatalah di hadapan mereka, perut Dolok berisi minyak. Bukan anak!
Lalu tanah di sekitar tubuh Dolok yang rubuh terus berminyak oleh ceceran lemak yang keluar dari antara darah yang mengalir dari perutnya. Namun tak pernah ada bayi. Memang tak ada bayi. Kecuali minyak yang semakin membasahi dan mengaliri tanah yang kecoklatan. Sampai tanah mulai memperlihatkan pantulan warna dari cairan yang jernih. Pantulan minyak itu.
Demikianlah, hingga hari itu, hingga esoknya. Bahkan hingga bulan terbit puluhan dan ratusan kali, atas segala kejadian itu, orang-orang tetap mengingatnya.
Sekalipun tubuh Dolok telah dikuburkan. Tulangnya digabungkan bersama simin10 semarganya, namanya tetap melekat dan dipertahankan di antara puak.
Bahkan, tak satu pun orang yang berani menamakannya Dolok. Padanya dibuat julukan lain: Kakek yang Menjadi Minyak. Ompu Na Gabe Miak. Karena bagi orang Batak, sebutan nama memang sesuatu hal yang perlu dihindari. Apalagi bila dia bukan seorang bujangan. Dolok pernah beristri.
Dia memang bukan perempuan. Dia pejantan di antara silsilah puak. Di antara garis keturunan marga. Hal itu hingga sekarang tetap dicamkan oleh orang-orang di kampung. Bahkan oleh tiap marga yang pernah mengenal dan mengenang ceritanya, dapat membaca nama Dolok tertulis di simin itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar